Minggu, 03 Mei 2015

Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan
Keberadaan  manusia  sebagai  makhluk  sosial  tentu  membawa   konsekuensi  perlunya  diciptakan  suatu  hubungan  yang  harmonis  antara   manusia  yang  satu  dengan  yang  lainnya.  Kondisi ini dapat  diwujudkan   melalui  kehidupan  saling  menghormati dan  menghargai  bahwa  diantara   mereka  terkandung adanya  hak  dan  kewajiban.
Karena itu, keberadaan   manusia  yang  memiliki  hak  dan   kewajibannya  masing-masing  tidak  dapat  dipandang  sebagai  individu  yang  berdaulat  sehingga  dapat  mempertahankan  hak  dan  kewajibannya  secara  mutlak,  melainkan  haruslah  dipandang  sebagai  personal  sosial,  yaitu suatu  pribadi  sosial  yang  dibina  oleh  masyarakat  dan  hidup  terikat  oleh  masyarakat  serta  mengendalikan  hak   asasi  dan  hak-hak  lain  dimana  hak  itu  timbul  karena  hak  hidupnya  dalam  masyarakat dan 
penggunaannya  harus  diselaraskan   dengan  kepentingan  umum  atau  masyarakat. Penjelasan  Undang-Undang  Dasar  1945  dengan  tegas  menyebutkan  bahwa  Indonesia  adalah  Negara  hukum  (rechtstaat)  dan  bukan  Negara  kekuasaan  (machtstaat).  Dengan  demikian  ada  berbagai  konsekuensi  yang  melekat    padanya,  bahwa  konsepsi   rechtstaat  maupun  konsepsi   the  rule  of  law  menempatkan  hak   asasi  manusia  sebagai  salah  satu  ciri  khas  negara  rechtstaat  atau  menjunjung  tinggi  the  rule   of  law,  bagi  suatu  negara   demokrasi  pengakuan  dan  perlindungan  terhadap  hak-hak  asasi   manusia merupakan  salah  satu  ukuran  tentang  baik  buruknya  suatu  pemerintahan.
Kebijakan  hukum  pidana  dilakukan  dengan  berbagai  macam  cara, yang salah satunya dengan mengadakan  pembaharuan  hukum   pidana.  Pembaharuan  hukum  pidana  dilakukan  dengan  mengadakan   reorientasi  dan  reformasi  hukum  pidana  sehingga  sesuai  dengan  nilai- nilai  sentral  politik,  filosofi  dan  budaya  yang  terdapat  pada  masyarakat   Indonesia.  Dengan  pembaharuan  hukum  pidana   diharapkan  dapat   mengatasi masalah-masalah   sosial  untuk  mencapai  masyarakat  yang   sejahtera.  Disamping  itu  dengan  pembaharuan   hukum  pidana  diharapkan  dapat  melindungi  masyarakat  dari  kejahatan  dan   memperbaharui  substansi  hukum  dalam  rangka  lebih  mengefektifkan   penegakan  hukum.
Dengan pendekatan nilai diharapkan pembaharuan  hukum pidana dapat melakukan  peninjauan  dan  penilaian  kembali  nilai-nilai  politik,  filosofi, dan budaya  masyarakat   yang  melandasi   substantif  hukum  pidana.  Masalah  pokok  dalam  kebijakan  hukum  pidana  selain  masalah kriminalisasi,  adalah   sanksi  yang  akan dikenakan  kepada pelanggar. Dalam penjatuhan pidana hendaknya  mempertimbangkan  efektifitas   sanksi  pidana  itu sendiri.  Sanksi   pidana  dikatakan   efektif  apabila   pidana  itu  benar-benar   dapat  mencegah  terjadinya  tindak  pidana,   disamping  itu pidana  tersebut  tidak  menyebabkan  timbulnya  keadaan   yang  lebih  merugikan  atau  berbahaya  daripada  apabila  sanksi  pidana   tidak  dijatuhkan,  disamping  itu  tidak  ada  sanksi  lain  yang  dapat   mencegah  secara  efektif   dengan  kerugian  atau  bahaya  yang  lebih   kecil.  Jeremy  Bentham  berpendapat  bahwa  pidana  jangan   digunakan apabila  ‘groundless,needless, unprofitable  or  inefficacious’.  Menurut  Bassiouni,  tujuan  pengenaan  pidana   adalah  mewujudkan  kepentingan-kepentingan   social  yaitu  1. memelihara ketertiban dalam  masyarakat,
2.melindungi   masyarakat  dari  kejahatan,kerugianatau   bahaya  yang  ditimbulkan  oleh  pelaku,
3. memasyarakatkan kembali si pelaku,
4. mempertahankan  integritas  pandangan-pandangan dasar   mengenai  keadilan  sosial,  martabat  kemanusiaan  dan  keadilan  individu.
Perlindungan korban tindak pidana sebagai upaya pembaharuan hokum pidana
Dalam konteks  perlindungan  terhadap  korban   kejahatan,  adanya  upaya  preventif  maupun  represif  yang  dilakukan,  baik  oleh  masyarakat  maupun  pemerintah  (melalui  aparat  penegak  hukum)  seperti  pemberian  perlindungan/pengawasan  dari  berbagai  ancaman  yang  dapat  membahayakan   nyawa korban,  penberian  bantuan  medis, bantuan  hukum  secara   memadai,  proses  pemeriksaan  dan  peradilan  yang  fair  terhadap  pelaku  kejahatan,  pada  dasarnya  merupakan  salah  satu  perwujudan  dari perlindungan  hak asasi manusia serta instrument penyeimbang.  Disinilah  dasar  filosofis  di  balik  pentingnya  korban  kejahatan  (keluarganya)  memperoleh  perlindungan. Pentingnya korban memperoleh  pemulihan sebagai  upaya  menyeimbangkan  kondisi   korban  yang  mengalami  gangguan,  karena  korban  kejahatan   perlu  dilindungi,
Pertama,  masyarakat  dianggap sebagai  suatu   wujud  system  kepercayaan  yang  melembaga.  Kepercayaan  ini  terpadu  melalui norma-norma  yang  diekspresikan  di  dalam  struktur  kelembagaan seperti  polisi,  kejaksaan,  pengadilan  dan  sebagainya.  Terjadinya  kejahatan  atas diri  korban  akan   bermakna  penghancuran  sistem  kepercayaan   tersebut  sehingga  pengaturan  hukum  pidana  dan   hukum  lain  yang  menyangkut  korban  akan berfungsi  sebagai  sarana  pengembalian  sistem  kepercayaan  tersebut.
Kedua, Adanya  argumen  kontrak  sosial  dan  solidaritas  sosial  karena  negara  boleh  dikatakan  memonopoli  seluruh  reaksi  sosial  terhadap  kejahatan  dan  melarang  tindakan-tindakan  yang  bersifat   pribadi.  Oleh  karena  itu,  jika  terdapat  korban  kejahatan,  maka  negara  harus  memperhatikan  kebutuhan  korban  dengan  cara  peningkatan  pelayanan  maupun  pengaturan  hak. 
Ketiga,  perlindungan  korban   yang  biasanya  dikaitkan  dengan  salah  satu  tujuan  pemidanaan,  yaitu  penyelesaian  konflik.  Dengan  penyelesaian  konflik  yang  ditimbulkan  oleh  adanya  tindak  pidana akan  memulihkan  keseimbangan  dan  mendatangkan  rasa  damai  dalam  masyarakat. Dengan  mengacu  pada  penerapan  perlindungan  hak-hak  korban  kejahatan  sebagai  akibat  dari  terlanggarnya  hak  asasi  yang  bersangkutan,  maka  dasar  dari  perlindungan  korban  kejahatan  dapat  dilihat  dari  beberapa  teori, yaitu  :
1.Teori  utilitas
Teori  ini  menitikberatkan  pada  kemanfaatan yang  terbesar  bagi  jumlah  yang  terbesar.  Konsep  pemberian   perlindungan  pada  korban  kejahatan  dapat  diterapkan  sepanjang  memberikan  kemanfaatan  yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan   tidak  diterapkannya  konsep  tersebut,  tidak  saja  bagi  korban  kejahatan,  tetapi  juga  bagi  sistem  penegakan  hukum  pidana  secara  keseluruhan.
2.Teori  tanggung  jawab
Pada  hakekatnya  subjek  hukum  bertanggung  jawab  terhadap  segala  perbuatan  hukum  yang  dilakukannya  sehingga  apabila  seseorang  melakukan  suatu  tindak   pidana  yang  mengakibatkan  orang  lain  menderita kerugian  (dalam  arti  luas),  orang  tersebut  harus  bertanggung  jawab  atas  kerugian   yang  ditimbulkannya, kecuali ada alasan  yang  dapat  membebaskannya.
3.Teori  ganti  kerugian
Sebagai  perwujudan  tanggung  jawabkarena  kesalahannya   terhadap  orang  lain,  pelaku tindak  pidana  dibebani  kewajiban  untuk  memberikan  ganti  kerugian  pada  korban  atau  ahli  warisnya.Dalam  konsep  perlindungan  hukum  terhadap  korban  kejahatan,  terkandung  pula  beberapa  asas  hukum  yang  memerlukan  perhatian.  Hal  ini  disebabkan  dalam  konteks  hukum  pidana,  sebenarnya  asas  hukum  harus  mewarnai  baik  hukum  pidana  materiil,  hukum  pidana  formil  maupun  hukum   pelaksanaan  pidana.  Asas-asas  tersebut  adalah  sebagai  berikut  :
Asas  manfaat
Artinya  perlindungan  korban  tidak  hanya  ditujukan  bagi  tercapainya  kemanfaatan  (baik  materiil   maupun  spiritual)  bagi  korban  kejahatan,  tetapi  juga  kemanfaatan   bagi  masyarakat  secara  luas khususnya  dalam  upaya  mengurangi  jumlah   tindak  pidana  serta  menciptakan  ketertiban  masyarakat.
Asas  keadilan
Artinya  penerapan  asas  keadilan   dalam  upaya  melindungi  korbankejahatan  tidak  bersifat  mutlak  karena  hal  ini  dibatasi  pula  oleh  rasa  keadilan  yang  harus  juga  diberikan  pada  pelaku  kejahatan.
Asas  keseimbangan
Karena  tujuan  hukum  disamping  memberikan  kepastian  dan  perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk  memulihkan  keseimbangan  tatanan  masyarakat  yang  terganggu  menuju  pada  keadaan  yang  semula,  asas  keseimbangan  memperoleh  tempat  yang   penting  dalam  upaya  pemulihan  hak-hak  korban.
asas  kepastian  hukum
Asas  ini dapat  memberikan  dasar  pijakan hukum   yang  kuat  bagi  aparat  penegak  hukum  pada  saat  melaksanakan  tugasnya  dalam  upaya  memberikan  perlindungan  hukum  pada  korban  kejahatan.  Untuk  memperoleh  dasar   pijakan  yuridis  yang  memadai,  konsep  pemberian  perlindungan  hukum  pada  korban  kejahatan  sebaiknya  ditambahkan  dalam  Rancangan  Kitab  Undang-Undang  Hukum  (Acara)  Pidana. Dalam   masalah perlindungan hukum  bagi korban,   maka   terkait  dua   pihak   yaitu   korban  sebagai   pihak   yang  harus   dilindungi   dan   pemerintah   atau  negara   sebagai   pihak   yang  memberi perlindungan. Hal ini  karena  pemerintah   atau  negaralah   yang  mempunyai   kekuasaan.
Adanya korban kejahatan  tentu   tidak   dapat   dilepaskan   dari  adanya kejahatan  itu  sendiri,   namun   selama  ini   perhatian   terhadap  korban  kejahatan  tidak    sebanding  dengan  perhatian  terhadap  pelaku  kejahatan  atau  tindak  pidana.  Dalam sejarah hukum Indonesia  dapat  dijumpai  berbagai  kitab  undang-undang  hukum. Salah satu diantaranya  adalah  yang  berasal  dari  zaman  Majapahit,  yaitu  yang  disebut  “perundang-undangan Agama”.Dalam  perundang-undangan  ini terdapat    pidana    pokok  berupa   ganti  kerugian  atau    panglicawa  atau  patukucawa. Meskipun ketentuan tersebut sekarang  tidak  berlaku,  namun  ada baiknya  menyebutnya  di sini,  karena  tampaknya  ada   kecenderungan  dari  pembentuk  undang-undang  untuk  menggali  hukum  asli dan   menemukan   nilai-nilai    yang  pernah  ada  dalam  hukum  asli. Gagasan    pengenaan    ganti  rugi    merupakan  gagasan  yang  maju, dalam arti bahwa orang yang  dirugikan  dalam  perkara  pidana  atau  orang  yang  menjadi korban tindak  pidana   mendapat  perhatian.  Kedudukan  korban  atau  orang yang  dirugikan    dalam    perkara  pidana selama ini  sangat memprihatinkan,  dimana  korban  tindak pidana  seolah-olah    dilupakan.  Ilmu  pengetahuan    hukum  pidana dan praktek penyelenggaraan hukum pidana hanya  menaruh perhatian  kepada  pelaku  tindak  pidana. Dalam    perundang-undangan     Majapahit,  tampak  sekali  hubungan antara pelaku    tindak   pidana  dan  korban, misalnya : 
 - Pasal  56 :  Jika  seorang  pencuri  mohon  hidup, maka  ia  harus  menebus  pembebasannya  sebanyak  delapan  tali,  membayar  denda  empat  laksa  kepada    raja  yang  berkuasa,  membayar  kerugian  (panglicawa)  kepada   orang  yang  kena  curi  dengan  cara  mengembalikan  segala  milik  yang  diambilnya  dua  lipat.
Pasal  242  :  Barang  siapa  naik  pedati,  kuda  atau  kendaraan  apapun,  jika  melanggar  atau  menginjak  orang  hingga  mati, ia  sendiri  atau  sadisnya  dikenakan  denda  dua laksa oleh  raja  yang  berkuasa,  ditambah  uang  ganti   kerugian  (pamidara)  sebanyak  delapan  tali  kepada  pemilik  orang  yang  terlanggar  itu,  atau  kepada  sanak  saudara  orang  yang  mati  itu.
-  Pasal  19  :  Barang   siapa  membunuh  wanita   yang  tidak  berdosa,  harus  membayar  untuk  wanita  yang  bersangkutan  dua  lipat,  dan  dikenakan  uang  ganti  kerugian  (patukucawa)  empat  kali. Dalam   sejarah hukum tersebut terlihat adanya  hubungan  pribadi  antara si  pelaku  tindak  pidana  dan   si  korban,  dalam  arti  bahwa si korban secara  langsung  menuntut  balas  atas  apa  yang  diperlakukan  Oleh   karena   itu   dalam  rangka  pembaharuan  hukum  pidana  dan  pembentukan  KUHP  Nasional  khususnya,  masalah  perlindungan   korban  terutama  yang  menyangkut  pemberian  ganti  rugi  kepada  korban  perlu  mendapat    perhatian    yang    sewajarnya.  Dengan  memberikan  perhatian kepada  korban kejahatan maka akan meminimalkankemungkinan   terjadinya   korban  kedua  kali  (victim  secondary)  bagi   korban.  Disamping  itu  dengan memberikan   perlindungan    yang    memadai    kepada  korban  kejahatan  maka  sesungguhnya  hukum  pidana  telah  ikut  membantu  terwujudnya    kesejahteraan  masyarakat  dengan  jalan  meminimalkan  penderitaan  para    korban  kejahatan  atau  tindak  pidana. Dalam  Konsep  KUHP nasional  terlihat  adanya  kemajuan  dalam  memberikan  perlindungan    dan    perhatian  kepada  korban  kejahatan  yaitu  dengan    diaturnya    pemberian  ganti    rugi    kepada  korban. 
Jika dibandingkan    dengan    KUHP   yang  berlaku  sekarang  yang  tidak   memasukkan  pemberian  ganti  rugi    kepada    korban    sebagai    salah  satu  jenis  pidana  baik  sebagai  pidana  pokok    maupun  sebagai  pidana  tambahan,  maka  dalam  Konsep   KUHP  nasional  terlihat  adanya  pengaturan  pemberian   ganti  rugi   pada  korban  sebagai  salah  satu  pidana  meskipun  bersifat  pidana  tambahan. Berhubung   dengan    pentingnya  perhatian  pada  korban   kejahatan,  maka  dalam  rangka  pembentukan  KUHP  nasional,  masalah  perlindungan  korban  kejahatan  perlu  pengaturan  yang  memadai  untuk  membantu  memulihkan  kondisi  sosial   ekonomi  para  korban  kejahatan  serta  untuk  menyelesaikan  konflik  yang  ditimbulkan karena terjadinya  suatu  kejahatan   serta  untuk  memulihkan  keseimbangan,  dan  mendatangkan  rasa  damai dalam  masyarakat   sebagaimana  yang  dikehendaki  dalam  tujuan  pemidanaan  yang  tercantum  dalam  Konsep  KUHP. Perlindungan  korban   kejahatan  dalam  proses  penyelesaian  perkara  pidana    tidak    saja    penting    bagi  korban  dan  keluarganya  semata  tetapi  juga  untuk  kepentingan yang  lebih  luas  yaitu  untuk  kepentingan  penanggulangan  kejahatan  di   satu  sisi  dan  di  sisi  yang  lain  untuk  kepentingan    pelaku  kejahatan   itu  sendiri.  Pelaku  kejahatan  yang  telah  berbuat  baik  kepada  korbannya  akan  lebih  mudah  dalam  hal  pembinaan,  karena  dengan    demikian   pelaku    telah    merasa  berbuat   secara  konkret  untuk     menghilangkan    noda    yang    diakibatkan  oleh  kejahatannya.  Penjatuhan   pidana    berupa    kewajiban    untuk    memberikan  ganti  rugi  kepada   korban   akan  mengembangkan  tanggung-jawab  pelaku    karena    dalam  pelaksanaannya    dibutuhkan  peranan  aktif  dari  si  pelaku.
Penjatuhan    sanksi    pidana     yang     berupa  kewajiban  memberikan  ganti  rugi    kepada  korban,   menurut  pandangan   masyarakat  juga   akan menanamkan kesan bahwa    pelaku    tidak    saja   telah  dijatuhi  sanksi  pidana    tetapi  juga  telah  membayar “keuntungannya”  dalam  bentuk  kepeduliannya   memberikan  ganti  rugi  kepada  korban  dari  perbuatannya tersebut.  Kesan    tersebut     akan memudahkan masyarakat untuk menerima kembali     kehadiran    pelaku  tersebut  di  tengah-tengah  masyarakat  kelak  setelah  keluar  dari  Lembaga  Pemasyarakatan. Sikap  masyarakat  yang  mau  menerima    kembali    pelaku  perkosaan tersebut  pada  akhirnya  akan  memupuk   dan  mengembalikan    kepercayaan  diri  si  pelaku  tindak  pidana  atau  kejahatan  perkosaan   dalam    menempuh jalan  hidup  yang  lebih  baik  di  kemudian  hari. Penjatuhan    sanksi     pidana  yang   berorientasi   pada  kepentingan korban  tidak   akan    menghalangi     usaha    memperbaiki pelaku kejahatan, tetapi sebaliknya akan  mempercepat  proses  rehabilitasi  pada  pelaku  kejahatan.
Pentingnya   memberikan  perhatian  pada  perlindungan   korban   didasarkan   pada  pemikiran  bahwa  bahwa   dalam   kehidupan   masyarakat  semua warga  negara harus    berpartisipasi   penuh,   sebab   masyarakat   dipandang    sebagai   suatu  sistem    kepercayaan   yang   melembaga   (system   of   institutionalized   trust).  Tanpa   kepercayaan   ini   maka   kehidupan  sosial   tidak    mungkin  berjalan   dengan   baik   sebab   tidak   ada   patokan   yang   pasti   dalam   bertingkah   laku. Lebih   lanjut  dikatakan,  bahwa  bagi  korban   kejahatan,  dengan   terjadinya   kejahatan   terhadap   dirinya   akan  menghancurkan   sistem  kepercayaan   tersebut   dan  pengaturan  hkum  pidana   berfungsi  untuk   mengembalikan  kepercayaan   tersebut.
Pentingnya   perlindungan   korban  kejahatan  dalam   pengaturan  hukum   pidana   juga    berdasarkan  alasan   kontrak   sosial  (social   contract  argument)   dimana  negara  mengambil   alih   semua   reaksi   sosial  terhadap   kejahatan   yang   terjadi   dan   melarang   tindakan-tindakan   yang   bersifat   pribadi   dan   argument  solidaritas sosial   (social  solidarity  argument),   dimana   negara   mengambil   tanggung    jawab   terhadap   keamanan  warga  negaranya   baik   mengenai  keamanan   maupun  ketertiban   dalam   hidup   bermasyarakat    karena   negara   mempunyai   fasilitas untuk   itu. Oleh   karena   itu   jika    terjadi  kejahatan  yang   membawa  akibat   penderitaan   bagi   korban,  maka  negara  juga   harus memperhatikan penderitaan  korban   baik   dengan   memberi  pelayanan   atau   melalui    pengaturan  hak-hak  korban.
6. jelaskan pandangan saudara tentang penggunaan pidana dan tindakan ( double track system )
Perkembangan hukum pidana dewasa ini  di Indonesia, terutama Undang- undang Pidana Khusus atau perundang- undangan diluar KUHP, terdapat suatu  kecenderungan penggunaan sistem dua jalur  (Double Track Sistem) dalam  stesel  sanksinya yang berarti  sanksi pidana dan  sanksi tindakan  diatur sekaligus.(Sudarto  1986  : 63)  Penetapan sanksi dalam suatu  perundang-undangan pidana bukanlah  sekedar masalah teknis perundang-undangan  semata, melainkan merupakan bagian yang  tidak terpisahkan dari substansi atau materi  perundang-undangan itu sendiri.  Hal ini  mendapat perhatian yang serius mengingat  berbagai keterbatasan dan kemampuan  hukum pidana dalam menanggulangi  kejahatan.   Apalagi  ada  kecenderungan dalam  produk kebijakan legislasi bahwa hokumpidana hampir selalu digunakan untuk  menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin  timbul diberbagai bidang. Fenomena  semacam ini memberikan kesan seolah-olah  dirasakan kurang sempurna atau hambar bila  suatu produk perundang-undangan tidak ada  ketentuan pidananya (sanksi).  (Barda  Nawawi Arief,1996 : 27).  Selama ini produk kebijakan legislasi  sering menampilkan sanksi tindakan yang  terkesan ragu-ragu dan tersembunyi, artinya  pandangan para pemegang kebijakan  legislasi masih berpaham tradisional-klasik  yang hanya merujuk pada konsep KUHP  dan menganggap sanksi tidakan tidak lebih  sebagai suatu  “sanksi perawatan’.  Pandangan demikian akan menghambat  penanggulangan kejahatan berdimensi baru  (new dimension of criminality) khususnya  dilakukan oleh korporasi sebagai subyek  hukum pidana karena karakteristiknya.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana sebagaibagian dari usaha penggulangan  kejahatan tidak dapat dilepaskan dari tujuan  negara untuk melindungi segenap bangsa  Indonesia dan untuk mewujudkan  kesejateraan umum berdasarkan Pancasila  dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam  konsep yang demikan maka  kewajiban  negara di salah satu pihak melindungi dan  mensejaterahkan masyarakat dilain pihak  juga melindungi dan mensejaterakan  si  pelaku kejahatan. Dengan bertolak dari  pandanganyang demikian maka setiap  kebijakan legislasi harus pula merupakan  suatu perwujudan kearah tercapinya tujuan  itu.Secara tradisional teori-teori  pemidanaan pada umunya dapat dibagi  dalam dua kelompok teori yaitu :
Teori absolut atau teori pembalasan  (relativ/vergeldings theorieen),
 Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doelheorieen).
Menurut  teori absolut  ini pidana  dijatuhkan semata-mata karena orang telah  melakukan sustu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Jadi pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada  sebagai suatu pembalasan kepada orang  yang melakukan  kejahatan tersebut.Sedangkan tujuan utama (primair) dari  pidana menurut  teori ini ialah  “untuk  memuaskan  tuntutan  keadilan”  (to satisfy the claims of justice).tuntudan keadilan ini    yang  sifatnya absolut ini sesuai dengan apa  yang perna ditulis oleh Immanuel Kant  dalam bukunya “Philosopy of Law” sebagai  berikut :
  ......Pidana tidak perna dilaksanakan  semata-mata sebagai sarana untuk  mempromosikan tujuan/kebaikan lain,  baik bagi si pelaku itu sendiri maupun  bagi masyarakat tetapi dalam hal harus dikenakan hanya karena orang yang  bersangkutan telah melakukan suatu  kejahatan. Bahkan walupun seluruh  anggota masyarakat sepakat untuk  mengahancurkan dirinya sendiri  (membubarkan masyarakat) pembunuh  terakhir yang masih berada dalam  penjara harus dipidana mati sebelum  resolusi  /  keputusan pembubaran  masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini  harus dilakukan karena setiap orang  seharusnya menerima ganjaran dari  perbuatannya, dan  perasaan balas  dendam tidak boleh tetap ada pada  anggota masyarakat, karena apabila  tidak demikian mereka semua dapat  dipandang sebagai orang yang ikut ambil  bagian dalam pembunuhan itu yang  merupakan pelanggran terhadap keadilan umum” 
Menurut  teori relatif, memidana  bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut  dari keadilan.  Pembalasan itu tidak  mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai  sarana untuk melindungi kepentingan  masyarakat. Namun dalam perkembangan  sekarang bahwa pemberian hukuman kepada  pelaku tidak hanya dilihat dari kepntingan  masyarakat namun juga kepada kepentingan  pelaku, artinya bila kita biakan tanpa  hukuman maka mungkin saja teori absolut  dapat berlaku ia akan dihakimi oleh pihak  yang telah dirugikannya. Oleh karena itu  menurut Nigel Walker  teori ini lebih tepat  disebut teori atau aliran reduktif (thereductive point of law)  karena dasar  pembenaran pidana menurut teori ini ialah  untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Menurut  Emile Durkheim  fungsi  dari pidana adalah untuk menciptakan  kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi  yang ditimbulkan atau digoncang oleh  adanya kejahatan.  Sedangkan aliran-aliran  dalam hukum pidana  tidaklah mancari dasar  hukum atau pembenaran dari pidana, tetapi  berusaha memperoleh suatu sistem hukum  pidana yang  praktis dan bermanfaat. Secara  garis besar aliran-aliran ini juga dibagi  dalam dua aliran yaitu aliran klasik dan  aliran modern.  Aliran klasik terutama  menghendaki hukum pidana yang tersusun  sistimatis dan menitik beratkan kepada  kepastian hukum.  Dalam rangka  penyususnan KUHP baru maka kebijakan  yang harus diambil oleh ligislatif dalam  merumuskan pemberian sanksi juga harus  melihat kepada rasa “keadilan” bukan saja erhadap “kepastian hokum.
Dalam membahas politik hukum  maka yang dimaksud dengan hukum disini  adalah hukumm posetif, yaitu hukum yang  berlaku pada waktu sekarang di Indonesia., sesuai dengan asas pertingkatan (hirarki)  hukum itu sendiri, atau dengan istilah yang  diberikan  oleh Logeman, sebagai hukum  yang berlaku disini dan kini. (Logeman  J.H.A, 1975 : 31) Hukum posetif yang  berlaku disini merupakan hukum yang  dibuat atau ditetapkan oleh negara melalui  lembaga negara atau pejabat yang  berwewenang untuk menetapkannya.  Peranan  legislatif dalam hal pemidanaan  meliputi penentuan kebijakan dasar yang  tidak hanya mengenai pidana yang tepat  untuk tiap-tiap tindak pidana, tetapi juga  mengenai tipe pidana yang disediakan untuk  kekuasaan pemidanaan lainya dibawah  tingkat (the other sentencing authorities)  dan kadar kebijakan yang diberikan kepadaperbuatan (dan akibat perbuatan) si pelaku.
Sisi lain yang bersifat struktural atau  fungsional ini misalnya pihak  korban/penderita lainnya dan  strukutur/kondisi lingkungan yang  menyebabkan si  pelaku berbuat kejahatan.  (Barda Nawawi Arief, 1998 : 45).  Banyaknya perundang-undangan  pidana yang memuat jenis sanksi pidana  sebagai sanksi utamanya, mengindikasikan  bagaimana tingkat pemahaman para  legislator  terhadap masalah-masalah pidana  dan pemidanaan. Paling tidak, keterbatasan  pemahaman (Sumber daya Manusia) mereka  terhadap masalah-masalah sanksi dalam  hukum pidana turut memepengaruhi proses  penetapan sanksi ketika membahas suatu perundang-undangan. Hal ini juga dapat  menimbulkan  inconsistency  dalam  penetapan jenis maupun bentuk-bentuk  sanksinya antara perundang-undangan yang  satu dengan perundang-undangan yang lain.  Pemahaman para legislator mengenai  sanksi pidana masih banyak dipengaruhi  oleh pandangan lama yang menegaskan  bahwa setiap orang yang  telah melakukan  kejahatan harus dibalas dengan pidana yang  setimpal. Pandangan yang didasarkan pada  aliran klasik dalam hukum pidana ini  mendominasi pemahaman mereka sehingga  setiap pembahasan suatu Rancangan  Undang-Undang (RUU)  yang memuat  ketentuan pidana, jenis sanksi pidana banyak  mendapatkan perhatian dalam pembahasan.  Begitu juga subjek hukum yang akan  dipertanggung-jawabkan secara pidana,  tidak dapat dipisahkan dengan masalah  penetapan jenis sanksi yang akan.dikenakan  terhadapnya. Sebagai contoh, pemidanaan  untuk kejahatan korporasi (corporate crime)  tidaklah cukup dengan menetapkan sanksi pidana saja karena kurang relevan dengan  sifat korporasi itu sendiri sebagi subjek  hukum pidana. Sehubungan dengan sanksi  apa yang tepat untuk dikenakan terhadap  korporasi, Sudarto menyatakan bahwa untuk  korporasi yang melakukan tindak pidana  dapat dikenakan sanksi pokok denda danMenurut  Frans Maramis,  berkat  jasa aliran kriminologi yang menghendaki  individualisasi pidana, yaitu agar tiap  penjahat memperoleh cara penyembuhan  sesuai dengan kepribadiannya, maka  dimasukkan dalam hukum pidana jenis-jenis  sanksi tindakan (maatregel). Pengaruh  kriminologiyang paling besar adalah dalam bidang pemidanaan. (Frans Maramis, 1994 :  12).
Selama ini dalam proses kebijakan  legislasi, para kegislator telah menempatkan  posisi sanksi tindakan sebagia sanksi nomor  dua. Tampaknya masih ada anggapan bahwa  sanksi tindakan itu merupakan bagian dari  sanksi pidana. Artinya, pengertian istilah  double track sistem  belum dipahami secarautuh sehingga sanksi tindakan yang  merupakan jenis sanksi lain dalam hukum  pidana (bukan jenis sanksi pidana)  keberadaannya tidak pernah dipersoalkan.  Pemahaman yang setengah-setengah  ini terhadap pengertian  double tarck sistem  ini berakibat pada penetapan  bentuk-bentuk  sanksi dalam perundang-undangan pidana  yang tidak tegas dinyatakan atau tidak jelas  sehingga diragukan apakah termasuk sanksi  tindakan.  Padahal suatu undang-undang  tidak boleh memuat perumusan delik  (termasuk ancaman sanksinya) yang kurang  jelas atau harus memenuhi syarat lex certa.  Jika dicermati Pasal 75 UU No. 24  Tahun 1997 tentang Penyiaran, tindakan  “perampasan” dan “pemusnahan” alat-alat  penyiaran atas perintah hakim jelaslah  dimaksudkan sebagai “tindakan  pencegahan” agar alat-alat tersebut tidakdipergunakan kembali di kemudian hari,  baik oleh si pelaku yang sama maupun  pelaku lainnya.
Dengan mengutip pendapat dari M.  Sholehuddin, Romli Atmasasmita  menjelaskan lebih lanjut bahwa bentuk  sanksi yang masih kabur dalam perundang- undang tersebut dapat dikategorikan sebagai  jenis sanksi tindakan. Hal ini sejalan dengan  tujuan pemidanaan yang merupakan dasar  teori relatif (teleologis),  yaitu :  preventive,  deterrence, dan reformative,  yang ketiga-tiganya senada dengan pandangan Bentham  tentang Justifikasi penjatuhan pidana yakni :  kejahatan harus dicegah sedini mungkin,  pidana untuk mencegah orang lain  melakukan kejahatan dan pelaku kejahatan  sebaiknya diperbaiki atau dibina  (Romli Atmasasmita, 1995  : 35).  Keseluruhan  sistem sanksi  dalam hukum pidana tersebut  harus dilandasi oleh ide-ide dasar sebagai  salah satu komponennya yang seyogianya  dipamami oleh para pemegang kebijakan  legislative. [1]
7. pembaharuan hokum pidana mutlak harus berlandaskan dan bersumber pada pancasila
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978, pemerintahan mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodefikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara. Pembangunan hukum nasional salah satu diantaranya adalah di bidang Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana dilakukan dalam rangka untuk mengganti Hukum Acara Pidana yang berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Dengan pembaharuan Hukum Acara Pidana, berarti mengadakan pembaharuan dalam melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Makhamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian, dasar utama negara hukum dapat ditegakkan. Konsekuensi dari pembaharuan Hukum Acara Pidana, maka Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dinyatakan dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981.[2]ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang terhadapsiapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses penuntutanberdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatanitu.
Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana abai terhadap kepentinganpara pihak.Berbagai teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat iniadalah hukum pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda.Di Indonesiamasih saja memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teksaslinya masih bertuliskan dalam bahasa Belanda.Sebagai negara yang merdeka danberdaulat, Indonesia sejak lama telah melakukan usaha-usaha untuk memperbaharuihukumnya, termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukumpidana, pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidanamateriil (strafrecht ), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvordering-srecht ) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht ). Ketiga bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya salah satu bidangsaja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalampelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatuhukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional (berlandaskan Pancasiladan Undang-Undang Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai sepenuhnya. Denganadanya arah kebijakan hukum yang jelas, maka diharapkan tercipta suatu kondisikehidupan masyarakat hukum yang selaras, serasi, dan seimbang dengan adanya suatuperaturan hukum yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalammasyarakat.Pancasila. Sehingga hukum dan sstem hukum kita terasa kering dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Sebagaimana diketahui bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi dan sumber dari segala sumber hukum bangsa dan negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh perorangan sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara kausalitas Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religious. Kemudian para pendiri negara mengangkat nilai-nilai tersebut dan dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam siding-sidang BPUPKI dan PPKI yang akhirnya padatanggal 18 Agustus 1945 dinyatakan sah oleh PPKI sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia Bagi bangsa Indonesia, Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang bermacam-macam antara lain:
a.  Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa. Artinya Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai luhur, yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri yang berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam berinteraksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya. Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan  mengetahui arah mana tujuan yang ingin dicapainya.Pancasila dalam kedudukan ini sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah negara (philosohische Gronslas)  dari negara, ideologi negara  (staatsidee).  Dalam  pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara/penyelenggaraan negara.  Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan negara dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai Pancasila. Karena itu Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Kedudukan Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke IV, ketetapan MPRS NO XX/MPRS/1966 jo TAP No. V/MPR/1973 dan Ketetapan No.IX/MPR/1978.
 
SUMBER : http://mualokreatif.blogspot.com/p/blog-page.html

Tidak ada komentar: