Keberadaan manusia
sebagai makhluk sosial
tentu membawa konsekuensi
perlunya diciptakan suatu
hubungan yang harmonis
antara manusia yang
satu dengan yang
lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan
melalui kehidupan saling
menghormati dan menghargai bahwa
diantara mereka terkandung adanya hak
dan kewajiban.
Karena itu,
keberadaan manusia yang
memiliki hak dan
kewajibannya masing-masing tidak
dapat dipandang sebagai
individu yang berdaulat
sehingga dapat mempertahankan hak
dan kewajibannya secara
mutlak, melainkan haruslah
dipandang sebagai personal
sosial, yaitu suatu pribadi
sosial yang dibina
oleh masyarakat dan
hidup terikat oleh
masyarakat serta mengendalikan
hak asasi dan hak-hak lain
dimana hak itu
timbul karena hak
hidupnya dalam masyarakat dan
penggunaannya harus
diselaraskan dengan kepentingan
umum atau masyarakat. Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 dengan
tegas menyebutkan bahwa
Indonesia adalah Negara
hukum (rechtstaat) dan
bukan Negara kekuasaan
(machtstaat). Dengan demikian
ada berbagai konsekuensi
yang melekat padanya,
bahwa konsepsi rechtstaat
maupun konsepsi the
rule of law
menempatkan hak asasi
manusia sebagai salah
satu ciri khas
negara rechtstaat atau
menjunjung tinggi the
rule of law,
bagi suatu negara
demokrasi pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia merupakan salah
satu ukuran tentang
baik buruknya suatu
pemerintahan.
Kebijakan hukum
pidana dilakukan dengan
berbagai macam cara, yang salah satunya dengan
mengadakan pembaharuan hukum
pidana. Pembaharuan hukum
pidana dilakukan dengan
mengadakan reorientasi dan
reformasi hukum pidana
sehingga sesuai dengan
nilai- nilai sentral politik,
filosofi dan budaya
yang terdapat pada
masyarakat Indonesia. Dengan
pembaharuan hukum pidana
diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah sosial
untuk mencapai masyarakat
yang sejahtera. Disamping
itu dengan pembaharuan
hukum pidana diharapkan
dapat melindungi masyarakat
dari kejahatan dan
memperbaharui substansi hukum
dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.
Dengan pendekatan nilai
diharapkan pembaharuan hukum pidana
dapat melakukan peninjauan dan
penilaian kembali nilai-nilai
politik, filosofi, dan
budaya masyarakat yang
melandasi substantif hukum
pidana. Masalah pokok
dalam kebijakan hukum
pidana selain masalah kriminalisasi, adalah
sanksi yang akan dikenakan kepada pelanggar. Dalam penjatuhan pidana
hendaknya mempertimbangkan efektifitas
sanksi pidana itu sendiri.
Sanksi pidana dikatakan
efektif apabila pidana
itu benar-benar dapat
mencegah terjadinya tindak
pidana, disamping itu pidana
tersebut tidak menyebabkan
timbulnya keadaan yang
lebih merugikan atau
berbahaya daripada apabila
sanksi pidana tidak
dijatuhkan, disamping itu
tidak ada sanksi
lain yang dapat
mencegah secara efektif
dengan kerugian atau
bahaya yang lebih
kecil. Jeremy Bentham
berpendapat bahwa pidana
jangan digunakan apabila ‘groundless,needless, unprofitable or
inefficacious’. Menurut Bassiouni,
tujuan pengenaan pidana
adalah mewujudkan kepentingan-kepentingan social
yaitu 1. memelihara ketertiban
dalam masyarakat,
2.melindungi masyarakat
dari kejahatan,kerugianatau bahaya
yang ditimbulkan oleh
pelaku,
3. memasyarakatkan
kembali si pelaku,
4. mempertahankan integritas
pandangan-pandangan dasar mengenai keadilan
sosial, martabat kemanusiaan
dan keadilan individu.
Perlindungan korban
tindak pidana sebagai upaya pembaharuan hokum pidana
Dalam konteks perlindungan
terhadap korban kejahatan,
adanya upaya preventif
maupun represif yang
dilakukan, baik oleh
masyarakat maupun pemerintah
(melalui aparat penegak
hukum) seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai
ancaman yang dapat
membahayakan nyawa korban, penberian
bantuan medis, bantuan hukum
secara memadai, proses
pemeriksaan dan peradilan
yang fair terhadap
pelaku kejahatan, pada
dasarnya merupakan salah
satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument
penyeimbang. Disinilah dasar
filosofis di balik
pentingnya korban kejahatan
(keluarganya) memperoleh perlindungan. Pentingnya korban
memperoleh pemulihan sebagai upaya
menyeimbangkan kondisi korban
yang mengalami gangguan,
karena korban kejahatan
perlu dilindungi,
Pertama, masyarakat
dianggap sebagai suatu wujud
system kepercayaan yang
melembaga. Kepercayaan ini
terpadu melalui norma-norma yang
diekspresikan di dalam
struktur kelembagaan seperti polisi,
kejaksaan, pengadilan dan
sebagainya. Terjadinya kejahatan
atas diri korban akan
bermakna penghancuran sistem
kepercayaan tersebut sehingga
pengaturan hukum pidana
dan hukum lain yang menyangkut
korban akan berfungsi sebagai
sarana pengembalian sistem
kepercayaan tersebut.
Kedua, Adanya argumen
kontrak sosial dan
solidaritas sosial karena
negara boleh dikatakan
memonopoli seluruh reaksi
sosial terhadap kejahatan
dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat
pribadi. Oleh karena
itu, jika terdapat
korban kejahatan, maka
negara harus memperhatikan
kebutuhan korban dengan
cara peningkatan pelayanan
maupun pengaturan hak.
Ketiga, perlindungan
korban yang biasanya
dikaitkan dengan salah
satu tujuan pemidanaan,
yaitu penyelesaian konflik.
Dengan penyelesaian konflik
yang ditimbulkan oleh
adanya tindak pidana akan
memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat. Dengan mengacu
pada penerapan perlindungan
hak-hak korban kejahatan
sebagai akibat dari
terlanggarnya hak asasi
yang bersangkutan, maka
dasar dari perlindungan
korban kejahatan dapat
dilihat dari beberapa
teori, yaitu :
1.Teori utilitas
Teori ini
menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar
bagi jumlah yang
terbesar. Konsep pemberian
perlindungan pada korban
kejahatan dapat diterapkan
sepanjang memberikan kemanfaatan
yang lebih besar
dibandingkan dengan tidak
diterapkannya konsep tersebut,
tidak saja bagi
korban kejahatan, tetapi
juga bagi sistem
penegakan hukum pidana
secara keseluruhan.
2.Teori tanggung
jawab
Pada hakekatnya
subjek hukum bertanggung
jawab terhadap segala
perbuatan hukum yang
dilakukannya sehingga apabila
seseorang melakukan suatu
tindak pidana yang
mengakibatkan orang lain
menderita kerugian (dalam arti
luas), orang tersebut
harus bertanggung jawab
atas kerugian yang
ditimbulkannya, kecuali ada alasan
yang dapat membebaskannya.
3.Teori ganti
kerugian
Sebagai perwujudan
tanggung jawabkarena kesalahannya
terhadap orang lain,
pelaku tindak pidana dibebani
kewajiban untuk memberikan
ganti kerugian pada
korban atau ahli
warisnya.Dalam konsep perlindungan
hukum terhadap korban
kejahatan, terkandung pula
beberapa asas hukum
yang memerlukan perhatian.
Hal ini disebabkan
dalam konteks hukum
pidana, sebenarnya asas
hukum harus mewarnai
baik hukum pidana
materiil, hukum pidana
formil maupun hukum
pelaksanaan pidana. Asas-asas
tersebut adalah sebagai
berikut :
Asas manfaat
Artinya perlindungan
korban tidak hanya
ditujukan bagi tercapainya
kemanfaatan (baik materiil
maupun spiritual) bagi
korban kejahatan, tetapi
juga kemanfaatan bagi
masyarakat secara luas khususnya dalam
upaya mengurangi jumlah
tindak pidana serta
menciptakan ketertiban masyarakat.
Asas keadilan
Artinya penerapan
asas keadilan dalam
upaya melindungi korbankejahatan tidak
bersifat mutlak karena
hal ini dibatasi
pula oleh rasa
keadilan yang harus
juga diberikan pada
pelaku kejahatan.
Asas keseimbangan
Karena tujuan
hukum disamping memberikan
kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia,
juga untuk memulihkan keseimbangan
tatanan masyarakat yang
terganggu menuju pada
keadaan yang semula,
asas keseimbangan memperoleh
tempat yang penting
dalam upaya pemulihan
hak-hak korban.
asas kepastian
hukum
Asas ini dapat
memberikan dasar pijakan hukum yang
kuat bagi aparat
penegak hukum pada
saat melaksanakan tugasnya
dalam upaya memberikan
perlindungan hukum pada
korban kejahatan. Untuk
memperoleh dasar pijakan
yuridis yang memadai,
konsep pemberian perlindungan
hukum pada korban
kejahatan sebaiknya ditambahkan
dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum (Acara)
Pidana. Dalam masalah
perlindungan hukum bagi korban, maka
terkait dua pihak
yaitu korban sebagai
pihak yang harus
dilindungi dan pemerintah
atau negara sebagai
pihak yang memberi perlindungan. Hal ini karena
pemerintah atau negaralah
yang mempunyai kekuasaan.
Adanya korban
kejahatan tentu tidak
dapat dilepaskan dari
adanya kejahatan itu sendiri,
namun selama ini
perhatian terhadap korban
kejahatan tidak sebanding
dengan perhatian terhadap
pelaku kejahatan atau
tindak pidana. Dalam sejarah hukum Indonesia dapat
dijumpai berbagai kitab
undang-undang hukum. Salah satu
diantaranya adalah yang
berasal dari zaman
Majapahit, yaitu yang
disebut “perundang-undangan
Agama”.Dalam perundang-undangan ini terdapat pidana
pokok berupa ganti
kerugian atau panglicawa
atau patukucawa. Meskipun
ketentuan tersebut sekarang tidak berlaku,
namun ada baiknya menyebutnya
di sini, karena tampaknya
ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang
untuk menggali hukum
asli dan menemukan nilai-nilai yang
pernah ada dalam
hukum asli. Gagasan pengenaan
ganti rugi merupakan
gagasan yang maju, dalam arti bahwa orang yang dirugikan
dalam perkara pidana
atau orang yang
menjadi korban tindak pidana mendapat
perhatian. Kedudukan korban
atau orang yang dirugikan
dalam perkara pidana selama ini sangat memprihatinkan, dimana
korban tindak pidana seolah-olah
dilupakan. Ilmu pengetahuan
hukum pidana dan praktek
penyelenggaraan hukum pidana hanya
menaruh perhatian kepada pelaku
tindak pidana. Dalam perundang-undangan Majapahit,
tampak sekali hubungan antara pelaku tindak
pidana dan korban, misalnya :
- Pasal
56 : Jika seorang
pencuri mohon hidup, maka
ia harus menebus
pembebasannya sebanyak delapan
tali, membayar denda
empat laksa kepada
raja yang berkuasa,
membayar kerugian (panglicawa)
kepada orang yang
kena curi dengan
cara mengembalikan segala
milik yang diambilnya
dua lipat.
Pasal 242
: Barang siapa
naik pedati, kuda
atau kendaraan apapun,
jika melanggar atau
menginjak orang hingga
mati, ia sendiri atau
sadisnya dikenakan denda
dua laksa oleh raja yang
berkuasa, ditambah uang
ganti kerugian (pamidara)
sebanyak delapan tali
kepada pemilik orang
yang terlanggar itu,
atau kepada sanak
saudara orang yang
mati itu.
- Pasal
19 : Barang
siapa membunuh wanita
yang tidak
berdosa, harus membayar
untuk wanita yang
bersangkutan dua lipat,
dan dikenakan uang
ganti kerugian (patukucawa)
empat kali. Dalam sejarah hukum tersebut terlihat adanya hubungan
pribadi antara si pelaku
tindak pidana dan
si korban, dalam
arti bahwa si korban secara langsung
menuntut balas atas
apa yang diperlakukan
Oleh karena itu
dalam rangka pembaharuan
hukum pidana dan
pembentukan KUHP Nasional
khususnya, masalah perlindungan
korban terutama yang
menyangkut pemberian ganti
rugi kepada korban
perlu mendapat perhatian
yang sewajarnya. Dengan
memberikan perhatian kepada korban kejahatan maka akan meminimalkankemungkinan
terjadinya korban
kedua kali (victim
secondary) bagi korban.
Disamping itu dengan memberikan perlindungan yang
memadai kepada korban
kejahatan maka sesungguhnya
hukum pidana telah
ikut membantu terwujudnya
kesejahteraan masyarakat dengan
jalan meminimalkan penderitaan
para korban kejahatan
atau tindak pidana. Dalam
Konsep KUHP nasional terlihat
adanya kemajuan dalam
memberikan perlindungan dan
perhatian kepada korban
kejahatan yaitu dengan
diaturnya pemberian ganti
rugi kepada korban.
Jika dibandingkan dengan
KUHP yang berlaku
sekarang yang tidak
memasukkan pemberian ganti
rugi kepada korban
sebagai salah satu
jenis pidana baik
sebagai pidana pokok
maupun sebagai pidana
tambahan, maka dalam
Konsep KUHP nasional
terlihat adanya pengaturan
pemberian ganti rugi
pada korban sebagai
salah satu pidana
meskipun bersifat pidana
tambahan. Berhubung dengan pentingnya
perhatian pada korban
kejahatan, maka dalam
rangka pembentukan KUHP
nasional, masalah perlindungan
korban kejahatan perlu
pengaturan yang memadai
untuk membantu memulihkan
kondisi sosial ekonomi
para korban kejahatan
serta untuk menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan karena terjadinya suatu
kejahatan serta untuk
memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat sebagaimana yang
dikehendaki dalam tujuan
pemidanaan yang tercantum
dalam Konsep KUHP. Perlindungan korban
kejahatan dalam proses
penyelesaian perkara pidana
tidak saja penting
bagi korban dan
keluarganya semata tetapi
juga untuk kepentingan yang lebih
luas yaitu untuk
kepentingan penanggulangan kejahatan
di satu sisi
dan di sisi
yang lain untuk
kepentingan pelaku kejahatan
itu sendiri. Pelaku
kejahatan yang telah
berbuat baik kepada
korbannya akan lebih
mudah dalam hal
pembinaan, karena dengan
demikian pelaku telah
merasa berbuat secara
konkret untuk menghilangkan noda
yang diakibatkan oleh
kejahatannya. Penjatuhan pidana
berupa kewajiban untuk
memberikan ganti rugi
kepada korban akan
mengembangkan tanggung-jawab pelaku
karena dalam pelaksanaannya dibutuhkan
peranan aktif dari
si pelaku.
Penjatuhan sanksi
pidana yang berupa
kewajiban memberikan ganti
rugi kepada korban,
menurut pandangan masyarakat
juga akan menanamkan kesan bahwa pelaku
tidak saja telah
dijatuhi sanksi pidana
tetapi juga telah
membayar “keuntungannya”
dalam bentuk kepeduliannya memberikan
ganti rugi kepada
korban dari perbuatannya tersebut. Kesan
tersebut akan memudahkan
masyarakat untuk menerima kembali
kehadiran pelaku tersebut
di tengah-tengah masyarakat
kelak setelah keluar
dari Lembaga Pemasyarakatan. Sikap masyarakat
yang mau menerima
kembali pelaku perkosaan tersebut pada
akhirnya akan memupuk
dan mengembalikan kepercayaan
diri si pelaku
tindak pidana atau
kejahatan perkosaan dalam
menempuh jalan hidup yang
lebih baik di
kemudian hari. Penjatuhan sanksi
pidana yang berorientasi pada
kepentingan korban tidak akan
menghalangi usaha memperbaiki pelaku kejahatan, tetapi
sebaliknya akan mempercepat proses
rehabilitasi pada pelaku
kejahatan.
Pentingnya memberikan
perhatian pada perlindungan
korban didasarkan pada
pemikiran bahwa bahwa
dalam kehidupan masyarakat
semua warga negara harus berpartisipasi penuh,
sebab masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem
kepercayaan yang melembaga
(system of institutionalized trust).
Tanpa kepercayaan ini
maka kehidupan sosial
tidak mungkin berjalan
dengan baik sebab
tidak ada patokan
yang pasti dalam
bertingkah laku. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa bagi
korban kejahatan, dengan
terjadinya kejahatan terhadap
dirinya akan menghancurkan sistem
kepercayaan tersebut dan
pengaturan hkum pidana
berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan
tersebut.
Pentingnya perlindungan korban
kejahatan dalam pengaturan
hukum pidana juga
berdasarkan alasan kontrak
sosial (social contract
argument) dimana negara
mengambil alih semua
reaksi sosial terhadap
kejahatan yang terjadi
dan melarang tindakan-tindakan yang
bersifat pribadi dan
argument solidaritas sosial (social
solidarity argument), dimana
negara mengambil tanggung
jawab terhadap keamanan
warga negaranya baik
mengenai keamanan maupun
ketertiban dalam hidup
bermasyarakat karena negara
mempunyai fasilitas untuk itu. Oleh
karena itu jika
terjadi kejahatan yang
membawa akibat penderitaan
bagi korban, maka
negara juga harus memperhatikan penderitaan korban
baik dengan memberi
pelayanan atau melalui
pengaturan hak-hak korban.
6. jelaskan pandangan
saudara tentang penggunaan pidana dan tindakan ( double track system )
Perkembangan hukum
pidana dewasa ini di Indonesia, terutama
Undang- undang Pidana Khusus atau perundang- undangan diluar KUHP, terdapat
suatu kecenderungan penggunaan sistem
dua jalur (Double Track Sistem)
dalam stesel sanksinya yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus.(Sudarto 1986 :
63) Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis
perundang-undangan semata, melainkan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari substansi atau materi perundang-undangan
itu sendiri. Hal ini mendapat perhatian yang serius mengingat berbagai keterbatasan dan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan.
Apalagi ada kecenderungan dalam produk kebijakan legislasi bahwa hokumpidana
hampir selalu digunakan untuk menakut-nakuti
atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang. Fenomena semacam ini memberikan kesan seolah-olah dirasakan kurang sempurna atau hambar
bila suatu produk perundang-undangan
tidak ada ketentuan pidananya
(sanksi). (Barda Nawawi Arief,1996 : 27). Selama ini produk kebijakan legislasi sering menampilkan sanksi tindakan yang terkesan ragu-ragu dan tersembunyi,
artinya pandangan para pemegang
kebijakan legislasi masih berpaham
tradisional-klasik yang hanya merujuk
pada konsep KUHP dan menganggap sanksi
tidakan tidak lebih sebagai suatu “sanksi perawatan’. Pandangan demikian akan menghambat penanggulangan kejahatan berdimensi baru (new dimension of criminality) khususnya dilakukan oleh korporasi sebagai subyek hukum pidana karena karakteristiknya.
Kebijakan menetapkan
sanksi pidana sebagaibagian dari usaha penggulangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari
tujuan negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk
mewujudkan kesejateraan umum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam konsep yang demikan maka kewajiban
negara di salah satu pihak melindungi dan mensejaterahkan masyarakat dilain pihak juga melindungi dan mensejaterakan si pelaku
kejahatan. Dengan bertolak dari pandanganyang
demikian maka setiap kebijakan legislasi
harus pula merupakan suatu perwujudan kearah
tercapinya tujuan itu.Secara tradisional
teori-teori pemidanaan pada umunya dapat
dibagi dalam dua kelompok teori yaitu :
Teori absolut atau
teori pembalasan (relativ/vergeldings
theorieen),
Teori relatif atau teori tujuan
(utilitarian/doelheorieen).
Menurut teori absolut
ini pidana dijatuhkan semata-mata
karena orang telah melakukan sustu
kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Jadi pidana merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan tersebut.Sedangkan
tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori ini ialah “untuk
memuaskan tuntutan keadilan”
(to satisfy the claims of justice).tuntudan keadilan ini yang sifatnya absolut ini sesuai dengan apa yang perna ditulis oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Philosopy of Law” sebagai berikut :
“ ......Pidana tidak perna dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tetapi dalam hal harus dikenakan
hanya karena orang yang bersangkutan
telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan
walupun seluruh anggota masyarakat
sepakat untuk mengahancurkan dirinya
sendiri (membubarkan masyarakat)
pembunuh terakhir yang masih berada
dalam penjara harus dipidana mati
sebelum resolusi /
keputusan pembubaran masyarakat
itu dilaksanakan. Hal ini harus
dilakukan karena setiap orang seharusnya
menerima ganjaran dari perbuatannya,
dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggran terhadap keadilan
umum”
Menurut teori relatif, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadilan. Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Namun dalam perkembangan sekarang bahwa pemberian hukuman kepada pelaku tidak hanya dilihat dari
kepntingan masyarakat namun juga kepada
kepentingan pelaku, artinya bila kita
biakan tanpa hukuman maka mungkin saja
teori absolut dapat berlaku ia akan
dihakimi oleh pihak yang telah
dirugikannya. Oleh karena itu menurut
Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif
(thereductive point of law) karena
dasar pembenaran pidana menurut teori
ini ialah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan. Menurut Emile Durkheim fungsi
dari pidana adalah untuk menciptakan
kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi
yang ditimbulkan atau digoncang oleh
adanya kejahatan. Sedangkan
aliran-aliran dalam hukum pidana tidaklah mancari dasar hukum atau pembenaran dari pidana,
tetapi berusaha memperoleh suatu sistem
hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Secara garis besar aliran-aliran ini juga
dibagi dalam dua aliran yaitu aliran
klasik dan aliran modern. Aliran klasik terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun sistimatis dan menitik beratkan kepada kepastian hukum. Dalam rangka
penyususnan KUHP baru maka kebijakan
yang harus diambil oleh ligislatif dalam
merumuskan pemberian sanksi juga harus
melihat kepada rasa “keadilan” bukan saja erhadap “kepastian hokum.
Dalam membahas politik
hukum maka yang dimaksud dengan hukum
disini adalah hukumm posetif, yaitu
hukum yang berlaku pada waktu sekarang
di Indonesia., sesuai dengan asas pertingkatan (hirarki) hukum itu sendiri, atau dengan istilah
yang diberikan oleh Logeman, sebagai hukum yang berlaku disini dan kini. (Logeman J.H.A, 1975 : 31) Hukum posetif yang berlaku disini merupakan hukum yang dibuat atau ditetapkan oleh negara
melalui lembaga negara atau pejabat
yang berwewenang untuk
menetapkannya. Peranan legislatif dalam hal pemidanaan meliputi penentuan kebijakan dasar yang tidak hanya mengenai pidana yang tepat untuk tiap-tiap tindak pidana, tetapi
juga mengenai tipe pidana yang
disediakan untuk kekuasaan pemidanaan
lainya dibawah tingkat (the other
sentencing authorities) dan kadar
kebijakan yang diberikan kepadaperbuatan (dan akibat perbuatan) si pelaku.
Sisi lain yang bersifat
struktural atau fungsional ini misalnya
pihak korban/penderita lainnya dan strukutur/kondisi lingkungan yang menyebabkan si pelaku berbuat kejahatan. (Barda Nawawi Arief, 1998 : 45). Banyaknya perundang-undangan pidana yang memuat jenis sanksi pidana sebagai sanksi utamanya, mengindikasikan bagaimana tingkat pemahaman para legislator
terhadap masalah-masalah pidana dan
pemidanaan. Paling tidak, keterbatasan pemahaman
(Sumber daya Manusia) mereka terhadap
masalah-masalah sanksi dalam hukum pidana
turut memepengaruhi proses penetapan
sanksi ketika membahas suatu perundang-undangan. Hal ini juga dapat menimbulkan
inconsistency dalam penetapan jenis maupun bentuk-bentuk sanksinya antara perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan yang
lain. Pemahaman para legislator
mengenai sanksi pidana masih banyak
dipengaruhi oleh pandangan lama yang
menegaskan bahwa setiap orang yang telah melakukan kejahatan harus dibalas dengan pidana
yang setimpal. Pandangan yang didasarkan
pada aliran klasik dalam hukum pidana
ini mendominasi pemahaman mereka
sehingga setiap pembahasan suatu
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memuat
ketentuan pidana, jenis sanksi pidana banyak mendapatkan perhatian dalam pembahasan. Begitu juga subjek hukum yang akan dipertanggung-jawabkan secara pidana, tidak dapat dipisahkan dengan masalah penetapan jenis sanksi yang akan.dikenakan terhadapnya. Sebagai contoh, pemidanaan untuk kejahatan korporasi (corporate
crime) tidaklah cukup dengan menetapkan
sanksi pidana saja karena kurang relevan dengan
sifat korporasi itu sendiri sebagi subjek hukum pidana. Sehubungan dengan sanksi apa yang tepat untuk dikenakan terhadap korporasi, Sudarto menyatakan bahwa
untuk korporasi yang melakukan tindak
pidana dapat dikenakan sanksi pokok
denda danMenurut Frans Maramis, berkat
jasa aliran kriminologi yang menghendaki
individualisasi pidana, yaitu agar tiap
penjahat memperoleh cara penyembuhan
sesuai dengan kepribadiannya, maka
dimasukkan dalam hukum pidana jenis-jenis sanksi tindakan (maatregel). Pengaruh kriminologiyang paling besar adalah dalam bidang
pemidanaan. (Frans Maramis, 1994 : 12).
Selama ini dalam proses
kebijakan legislasi, para kegislator
telah menempatkan posisi sanksi tindakan
sebagia sanksi nomor dua. Tampaknya
masih ada anggapan bahwa sanksi tindakan
itu merupakan bagian dari sanksi pidana.
Artinya, pengertian istilah double track
sistem belum dipahami secarautuh
sehingga sanksi tindakan yang merupakan
jenis sanksi lain dalam hukum pidana
(bukan jenis sanksi pidana) keberadaannya
tidak pernah dipersoalkan. Pemahaman
yang setengah-setengah ini terhadap pengertian double tarck sistem ini berakibat pada penetapan bentuk-bentuk
sanksi dalam perundang-undangan pidana
yang tidak tegas dinyatakan atau tidak jelas sehingga diragukan apakah termasuk
sanksi tindakan. Padahal suatu undang-undang tidak boleh memuat perumusan delik (termasuk ancaman sanksinya) yang kurang jelas atau harus memenuhi syarat lex
certa. Jika dicermati Pasal 75 UU No.
24 Tahun 1997 tentang Penyiaran,
tindakan “perampasan” dan “pemusnahan”
alat-alat penyiaran atas perintah hakim
jelaslah dimaksudkan sebagai
“tindakan pencegahan” agar alat-alat
tersebut tidakdipergunakan kembali di kemudian hari, baik oleh si pelaku yang sama maupun pelaku lainnya.
Dengan mengutip
pendapat dari M. Sholehuddin, Romli
Atmasasmita menjelaskan lebih lanjut
bahwa bentuk sanksi yang masih kabur
dalam perundang- undang tersebut dapat dikategorikan sebagai jenis sanksi tindakan. Hal ini sejalan
dengan tujuan pemidanaan yang merupakan
dasar teori relatif (teleologis), yaitu :
preventive, deterrence, dan
reformative, yang ketiga-tiganya senada
dengan pandangan Bentham tentang Justifikasi
penjatuhan pidana yakni : kejahatan
harus dicegah sedini mungkin, pidana
untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan
dan pelaku kejahatan sebaiknya diperbaiki
atau dibina (Romli Atmasasmita,
1995 : 35). Keseluruhan
sistem sanksi dalam hukum pidana
tersebut harus dilandasi oleh ide-ide
dasar sebagai salah satu komponennya
yang seyogianya dipamami oleh para
pemegang kebijakan legislative. [1]
7. pembaharuan hokum
pidana mutlak harus berlandaskan dan bersumber pada pancasila
Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan
pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978, pemerintahan
mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan
mengadakan pembaharuan kodefikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman
pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara. Pembangunan hukum nasional
salah satu diantaranya adalah di bidang Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar
masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan
sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke
arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum
sesuai dengan UUD 1945.
Pembaharuan Hukum Acara
Pidana dilakukan dalam rangka untuk mengganti Hukum Acara Pidana yang berasal
dari Pemerintah Kolonial Belanda yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch
Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang
diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara
pidana, perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum
nasional.
Dengan pembaharuan
Hukum Acara Pidana, berarti mengadakan pembaharuan dalam melaksanakan peradilan
bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Makhamah Agung dengan
mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga
dengan demikian, dasar utama negara hukum dapat ditegakkan. Konsekuensi dari
pembaharuan Hukum Acara Pidana, maka Het Herziene Inlandsch Reglement
(Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1
Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dinyatakan dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981.[2]ada,
sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin
atau dengan persetujuan orang terhadapsiapa perbuatan tersebut
ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses penuntutanberdiri
sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatanitu.
Kendati demikian, tidak
berarti bahwa hukum pidana abai terhadap kepentinganpara pihak.Berbagai
teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat iniadalah hukum
pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda.Di Indonesiamasih saja
memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teksaslinya masih
bertuliskan dalam bahasa Belanda.Sebagai negara yang merdeka danberdaulat,
Indonesia sejak lama telah melakukan usaha-usaha untuk memperbaharuihukumnya,
termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukumpidana,
pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidanamateriil
(strafrecht ), hukum pidana formal atau hukum acara pidana
(strafvordering-srecht ) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll
streckungrecht ). Ketiga bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama
diperbarui, sebab kalau hanya salah satu bidangsaja yang diperbaharui, dan yang
lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalampelaksanaannya, dan tujuan dari
pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatuhukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional (berlandaskan Pancasiladan Undang-Undang Dasar
1945) tersebut tidak akan tercapai sepenuhnya. Denganadanya arah kebijakan
hukum yang jelas, maka diharapkan tercipta suatu kondisikehidupan masyarakat
hukum yang selaras, serasi, dan seimbang dengan adanya suatuperaturan hukum
yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalammasyarakat.Pancasila.
Sehingga hukum dan sstem hukum kita terasa kering dari nilai-nilai kemanusiaan
dan keadilan sosial.
Sebagaimana diketahui
bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi dan sumber dari segala
sumber hukum bangsa dan negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta
bukan hanya diciptakan oleh perorangan sebagaimana yang terjadi pada
ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya Pancasila melalui proses
yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara kausalitas Pancasila
sebelum disahkan menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya telah ada dan berasal
dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan
dan nilai-nilai religious. Kemudian para pendiri negara mengangkat nilai-nilai
tersebut dan dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur,
antara lain dalam siding-sidang BPUPKI dan PPKI yang akhirnya padatanggal 18
Agustus 1945 dinyatakan sah oleh PPKI sebagai dasar falsafah negara Republik
Indonesia Bagi bangsa Indonesia, Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang
bermacam-macam antara lain:
a. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa.
Artinya Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai luhur, yang menyeluruh
terhadap kehidupan itu sendiri yang berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk
menata kehidupan diri pribadi maupun dalam berinteraksi antar manusia dalam
masyarakat serta alam sekitarnya. Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup,
maka bangsa Indonesia akan mengetahui
arah mana tujuan yang ingin dicapainya.Pancasila dalam kedudukan ini sering
disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah negara (philosohische
Gronslas) dari negara, ideologi
negara (staatsidee). Dalam
pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk
mengatur pemerintahan negara/penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan negara
dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai Pancasila. Karena itu Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Kedudukan Pancasila merupakan dasar
negara Republik Indonesia tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke IV,
ketetapan MPRS NO XX/MPRS/1966 jo TAP No. V/MPR/1973 dan Ketetapan
No.IX/MPR/1978.
SUMBER : http://mualokreatif.blogspot.com/p/blog-page.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar